berpikir pakai otak sesuai syariat

jauh di mata dekat di hati

Sabtu, 29 Agustus 2015

PULANG....


PULANG...
Oleh : Andy Abdulloh
Ia terpaku lagi, kedua mata yang mengantuk itu sebenarnya sudah ingin di istirahatkan. Mulut ia yang masih mengisap rokok, menguap sebentar. Tapi urung juga ia enyah dari kursi nikmat itu, kursi nikmat yang sering ia gunakan minum kopi bergelas gelas, sembari merokok, memasukan nikotin keparu, sehingga sejenak otaknya melupakan masalah yang menumpuk. Sedari tadi ia duduk di warung kopi bang doel. Pikiran nya masih tak bisa diajak kompromi. Bergerilya ke mana mana.
Diluar hujan turun dengan deras, laksana air yang tumpah dari bendungan. Lancar, lama dan tak tau kapan tersumbat. Seperti kebingungan dirinya. Masalah yang datang dalam hidupnya mengalir deras, sehingga ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Ingin ia pulang, mengujungi tanah kelahiranya, di tapanuli selatan. Tapi ketika hal itu ia utarakan dengan saudara perempuanya, bukan penolakan yang ia dapatkan.
Bukan juga persetujuan, tapi ancaman yang membuat dia makin dalam meratapi kisah hidupnya.
"Silahkan kalau abang mau pulang ke tapanuli, Anis tak melarang, tapi Anis akan keluar rumah. Untuk apa Anis tinggal dengan orang yang kerjanya hanya merokok dan duduk manis di depan televisi," kata anis, waktu Bagas mencoba menghubungi lewat sambungan androidnya.
Petang tadi, ketika matahari sudah roboh di pangkuan bumi yang lain. Satu suara terlempar juga dari hapenya. Suara yang sangat Bagas rindukan. Suara belahan jiwa, dulu, kini sudah cerai.
"Maaf bang saya tak mungkin rujuk lagi dengan abang, pelajaran yang dulu sudah membekas di hati saya, tak mungkin saya jatuh ke lubang yang sama." Ucapan itu bagai tamparan yang hebat, jurus pamungkas yang Hasni utarakan. Memang kalau hendak berdua lagi rasanya tak mungkin. Karena kini sudah bagai bumi dan langit.
Ubaidilah, anaknya yang sekarang sudah duduk di bangku kelas 5 sd, juga diam saja waktu bicara ditelpon. Mungkin Ubay, pangilan yang dulu sering Bagas teriakan, sudah bisa mencerna nasehat ibunya. "Kalau bapak mu telpon gak usah ngomong macam macam, bilang aja kamu butuh uang untuk biaya sekolah, aku dan ibu di lamongan baik baik saja." Itu saja, yang penting uang nya nyampai. Kisah hidup bapakmu yang dulu biarlah jadi kenangan, yang akan datang, terpaksa ia sendiri yang harus melakoni. Nasehat nasehat keras Hasni untuk Ubay begitu keras. Sekeras sakit hatinya yang terendap dalam , tak mungkin sembuh.
Bagas mengeser duduknya, bang Doel yang menatap dirinya sedari tadi, melihat dia melamun. Hanya bisa memandang iba. Tak sepatah katapun keluar dari mulut bang Doel. Mungkin dalam pikiran bang Doel, biarkan saja, semakin ia meratapi nasibnya, mungkin akan tahu jawabanya sendiri.
"Bang mungkin saya mau pulang ke tapanuli dalam waktu dekat, sudah cukup saya di sini, dua tahun bukan waktu yang lama." Suaranya terdengar mengiba. Mungkin bermaksud minta nasehat. Nasehat yang sepatah dua patah keluar dari mulut bang Doel.
"Sudah kau pikirkan masak masak. Apa kau tak mau singah dulu ke rumah mantan istrimu. Melihat kabar Ubay serta mantan mertua mu ?" Jawaban bang Doel membuat wajah Bagas semakin pias, bingung. Ah kenapa jadi tersekat rasa ini. Membuat hati makin kesal tertumpah tumpah.
"Mereka sudah punya kehidupan sendiri bang, meskipun rasa ini masih ingin mereka mengisi kisah hidup saya lagi, tapi rasanya mustahil." Tak sengaja Bagas menghidupkan korek lagi, sebatang rokok lagi, Bagas hisap. Aneh, apa karena terlalu pusing!. Rokok yang sebenarnya menjadi sumber penyakit malah jadi obat yang manjur.
"Katamu dulu waktu kau datang ke madiun, kau mau membujuk istrimu rujuk ?"
"Benar bang, tapi ketika itu Hasni mau saya bujuk, sekarang uang warisan yang kubawa dari tapanuli sudah habis, tinggal beberapa saja. Hanya cukup untuk makan lima hari dan
untuk ongkos pulang ke tapanuli."
"Habis !? Kau gunakan apa uang yang hampir 150 juta itu. Atau kau kumat lagi main judi!?"
"Gak bang, untuk melunasi hutang, meskipun belum tertutup semua."
"Ooooo....," ucap bang Doel. Mulutnya mengerucut. Heran, mungkin dalam benak